Friday, 30 March 2018

Jalan Menuju Allah-Pengetahuan




Imam Shodiq (a.s) berkata, “Ilmu adalah dasar setiap kemuliaan dan puncak setiap kedudukan yang tinggi”.
Itulah sebabnya mengapa Rasulullah (sawas) berkata, “Adalah menjadi kewajipan setiap orang Islam, lelaki dan wanita untuk menuntut Ilmu”. Iaitu, ilmu berkenaan taqwa dan keyakinan.
Imam Ali (a.s) berkata, “Tuntutlah ilmu sehingga ke negeri China” bermaksud Ilmu untuk memahami diri, yang di dalamnya, terkandung ilmu tentang Tuhan.
Rasulullah (sawas) berkata, “Barangsiapa mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya; malah, kamu hendaklah mendapatkan, ilmu yang mana tanpanya tiada perbuatan yang dibenarkan dan itu adalah ikhlas… Kami memohon perlindungan Allah SWT dari ilmu yang tidak bermanfaat”, iaitu dari ilmu yang bertentangan dengan perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas.
Ketahuilah bahawa sejumlah kecil ilmu menuntut sejumlah besar tindakan kerana pengetahuan tentang “Masa Akhir (The Hour)” memerlukan seseorang yang mempunyai pengetahuan tertentu untuk bertindak sewajarnya sepanjang kehidupannya.
Isa (a.s) berkata, “Aku melihat sebuah batu yang tertulis atasnya “Baliklah aku” maka aku pun membalikkannya. Tertulis di batu itu ‘Barangsiapa yang bertindak tidak sesuai dengan apa yang diketahuinya akan diwajibkan untuk mencari apa yang tidak diketahuinya dan pengetahuannya sendiri akan berbalik menentangnya”.
Dan Allah SWT mewahyukan kepada Daud, “Hal terkecil yang akan Aku lakukan terhadap seseorang yang memiliki pengetahuan, tapi tidak bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu adalah menganggap pengetahuannya lebih buruk daripada tujuh puluh hukuman batin yang merupakan akibat dari kehendak-Ku untuk menghilangkan dari hatinya kebahagiaan di dalam mengingati-Ku”.
Tidak ada jalan untuk mencapai Allah SWT kecuali melalui ilmu. Dan ilmu merupakan perhiasan bagi manusia di dunia ini dan di akhirat nanti, memimpinnya menuju syurga; dan dengan maksud tersebut dia memperoleh redha Allah SWT.
Orang yang benar-benar mengetahui adalah mereka yang terkandung di dalam dirinya tindakan-tindakan terpuji, permohonan-permohonan yang murni, kejujuran dan kewaspadaan berbicara dengan bebas; bukan di lidahnya, debat-debatnya, perbandingan-perbandingannya, penegasan-penegasannya ataupun pernyataan-pernyataannya.
Di masa-masa sebelum ini, orang-orang yang mencari ilmu adalah mereka yang memiliki intelek, kesolehan, kebijaksanaan, kesederhanaan dan kewaspadaan; namun pada masa ini, kita melihat bahawa orang-orang yang mencari ilmu tidak memiliki sifat-sifat ini.
Orang yang berpengetahuan memerlukan intelek, kebaikan, kasih-sayang, nasihat yang baik, ketabahan, kesabaran, kepuasan dan kedermawanan; sementara mereka yang ingin mempelajari memerlukan hasrat untuk pengetahuan, kehendak, pengorbanan (dari waktu dan tenaganya), kesolehan, kewaspadaan, ingatan; dan keteguhan hati.
Ilmu Ahlulbait
Jalan Menuju Allah SWT
Oleh Imam Jaafar Ash-Shodiq (a.s)

Saturday, 7 October 2017

KASIH SAYANG DAN KEMANUSIAAN

 

By zeynabansari

-  Fri Oct 06, 2017 11:27 am#65414

Tanggal :19 Agustus 2017
Di :Paltalk

Imam Ahmed al-Hassan (as), pemimpin Panji-panji Hitam dari Timur (Black Banners of the East) berkata:

Sebuah pertanyaan bagi kalian, jika ada seorang atheis, orang yang tidak mempercayai Allah, datang kepadamu meminta air untuk minum untuk dirinya dan anaknya dan pada saat yang sama datang seorang Muslim, orang yang percaya kepada Allah, minta air minum kepadamu bagi dirinya, sementara kamu hanya mempunyai segelas air, kepada siapakah akan kamu berikan segelas air itu?

Bagi yang mempunyai jawabannya silakan berbicara di mic dan berikanlah juga alasan atas jawabanmu.

(Salah seorang menjawab: "Kepada si atheis, karena mungkin saja tindakan itu akan menjadi alasan baginya untuk percaya kepada Allah."

Yang lain menjawab: "Diberikan kepada yang atheis, supaya kami dapat membuatnya mengetahui tentang Allah dan sifat-sifat Allah."

Seorang yang lain lagi menjawab: "Aku akan memberikan sebagian air itu kepada si anak kecil dan sisanya kepada ayahnya.")

Imam Ahmed al-Hassan (as) berkata: 

Ahsant Ahsant (bagus, bagus). Kasih sayang.... terlepas dari agama, Islam, dan keyakinan .... kasih sayanglah yang pertama.
Apakah selanjutnya ia akan mempercayai Allah atau tidak, itu bukanlah hal yang penting.

Kasih sayang,

Rasa kemanusiaan,

Ya Allah,

Kasih sayang, kemanusiaan, terlepas dari agama.
Janganlah pernah terlintas dalam pikiranmu bahwa ia lantas akan percaya kepada Allah atau apakah ia akan terpengaruh oleh tindakanmu kepadanya. Yang pertama yang harus ada dalam pikiranmu adalah kasih sayang.”


CATATAN PINGGIR

Di antara sekian banyak contoh-contoh kisah tentang kasih sayang, yang berikut ini adalah sebagian kecilnya....

Perilaku Imam Ali bin Abu Talib (as) terhadap musuh-musuhnya

1. Perang Uhud
Talha bin Abu Talha bukan hanya musuh bagi Islam yang dibenci, tetapi juga musuh bagi Nabi Muhammad (sawas) dan bagi Imam Ali bin Abi Talib (as). Ia mengerahkan pasukannya dan misi mereka adalah mencelakakan Nabi (sawas) dan Imam Ali (as). Di dalam Perang Uhud ia adalah si pembawa bendera bagi tentara Quraisy. Imam ali bin Abi Talib (as) menghadapinya dan terjadilah pertempuran fisik yang menyebabkan Talha terluka parah sehingga ia terhuyung-huyung dan terjatuh. 

Imam Ali bi Abi Talib (as) meninggalkannya dalam keadaannya seperti itu dan berjalan melewatinya. Banyak tentara-tentara Muslim yang berlari menuju Imam Ali bin Abi Talib (as) dan menyarankan untuk menghabisi nyawa Talha bin abu Talha sambil berkata bahwa ia adalah musuh terburuk Imam Ali (as), namun Imam Ali bin Abi Talib (as) menjawab:

“Musuh atau bukan, ia tak dapat membela dirinya sendiri sekarang, dan aku tidak dapat menyerang seseorang yang tidak berada di dalam posisi yang memungkinnya untuk membela dirinya. Apabila dia tetap hidup, ia akan dibiarkan hidup sampai ajal menjemputnya.”

2. Minuman Dingin untuk Para Musuh pada Perang Jamal (Jange Jamal)

Di dalam perang Jamal (Jange Jamal) di tengah-tengah pertempuran yang sengit Qambar, budak Imam (as), membawakan untuknya (as) sirup yang manis sambil berkata:

“Tuanku, matahari bersinar sangat terik dan engkau telah terus menerus bertempur, maka minumlah segelas minuman dingin ini dan segarkanlah dirimu.”

Imam Ali bin Abi Talib (as) melihat ke sekelilingnya dan menjawab:

“Haruskah aku menyegarkan diriku sendiri ketika ratusan orang di sekelilingku terbaring luka dan sekarat akibat kehausan dan luka-luka mereka? Daripada membawakanku sirup manis, lebih baik engkau membawa beberapa orang bersamamu dan berikanlah kepada setiap orang-orang yang terluka itu minuman yang dingin.”

Qambar berkata: “(Tetapi) tuanku, mereka semua adalah musuh-musuh kita.”

Imam Ali bin Abi Talib (as) menjawab: “ Mereka mungkin musuh kita tetapi mereka semua adalah manusia jadi layanilah mereka.”

TENTANG MUQTADA AL-SADR




By zeynabansari
-  Sat Oct 07, 2017 1:03 am


Jawaban Imam Ahmed Al-Hassan (as) Mengenai Muqtada Al-Sadr

Seseorang bertanya kepada Imam Ahmed Al-Hassan (as) pemimpin Panji-panji Hitam dari Timur (Black Banners of The East):

“Mengapa engkau berbuat buruk (menghina) kepada Muqtada Al-Sadr?”

Kemudian Imam Ahmed Al-Hassan (as) menjawab:

“Percayalah kepada Allah, kami tidak pernah berbuat buruk kepadanya atau kepada siapapun selain darinya. Kami berbuat adil bahkan kepada orang-orang yang memusuhi kami.”

Kami berbicara tentang kebenaran dan mengungkapkan kebatilan.

Apakah engkau melihat semua grup kriminal yang tersebar di Irak, siapa yang menyebabkannya? Siapa yang memberikan dasar bagi terbentuknya kriminalitas semacam ini?

Semuanya adalah karena dia.

Apakah engkau telah melupakan apa yang telah dilakukan oleh grup-grup kriminal itu terhadap orang-orang?

Apakah engkau berpikir bahwa Allah akan membiarkannya tanpa dihukum?

“Tidak mungkin Allah seperti itu. Demi Allah, hal semacam ini takkan terlewat tanpa hukuman atau siksa.”

Imam (as) juga berkata:

“Muqtada Al-Sadr adalah orang yang bebal, ia adalah budak politik.

Muqtada Al-Sadr akan berakhir secara menyedihkan.”

Friday, 1 September 2017

Dari ‘Facebook’ seorang Ansariah





Dari Facebook Norhan Alquesh




Saya terbaca satu komen seorang lelaki yang menyatakan:

“Kalian berada di atas kebatilan, apakah bukti atau dalil kalian bahawa Abdullah Hashem sebelum kelahiran ini- adalah inkarnasi Yusuf (a.s) atau Nabi Idris (a.s) atau…atau…” dan meminta dalil/bukti yang kukuh berkenaan hal ini.

Saya ingin bertanya beberapa soalan kepada lelaki yang membuat komen tersebut:

Wahai kamu yang ragu-ragu, apakah yang membuat kamu percaya kepada Imam Ali (a.s) apabila Beliau (a.s)  berkata bahawa beliau adalah Adam pertama dan Nuh pertama?

Mengikut cara kamu berfikir, saya ingin bertanya apakah bukti atau dalil kamu berkenaan kata-kata Imam Ali (a.s) ini:

“…aku adalah yang terbaik dari nama-nama Allah yang diperintahkan supaya diseru dengannya (berdoa), aku adalah cahaya di mana petunjuk diambil daripadanya, akulah pemilik Sangkakala, aku mempunyai pelbagai-bagai rupa, akulah yang mengeluarkan mereka dari kubur. Aku adalah pemilik hari Kebangkitan, aku adalah sahabat Nuh dan penyelamatnya, aku adalah sahabat Ayub yang diuji dan akulah penyembuhnya. Akulah yang mendirikan langit-langit dengan perintah Tuhanku, aku adalah sahabat Ibrahim…”

Juga, apakah dalil dan bukti yang Imam Ali (a.s) berikan kepada kamu apabila beliau (a.s) berkata bahawa beliau (a.s) yang berkata-kata dengan Nabi Musa (a.s)?.

Sedangkan Al-Quran berkata bahawa Nabi Musa (a.s) berkata-kata dengan Allah?

Kami dan kalian semua beriman dengan setiap kata-kata Imam Ali (a.s), walaupun beliau (a.s) tidak menyatakan atau memberikan sebarang dalil yang dapat membuktikan setiap kata-katanya.

Jadi, sebab kenapa kami percaya dan beriman dengan setiap ucapan Imam Ali (a.s) adalah kerana imamahnya telah dibuktikan dengan nash; dan dalil yang cukup kepada kami; dan kepada kamu; dan dari itu kami menerima; dan beriman dengan setiap kata-kata beliau (a.s), sekalipun kami tidak memahaminya.

Dan ini adalah jalan Nabi Muhammad SAW dan Ahlulbait Baginda (a.s), iaitu penyerahan atau tunduk kepada Al-Hujjah selepas mengenalinya.

Jika kamu berada di zaman Nabi Allah Imran (a.s), adakah kamu menolak untuk beriman dengannya kerana beliau (a.s) menjanjikan anak lelaki kepada kaumnya, sedangkan yang lahir dari adalah anak perempuan, iaitu Mariam (a.s)?!.

Atau kamu akan kekal beriman kepadanya dan yakin bahawa ada hikmah dari Allah SWT dan adakalanya kata-kata nabi-Nya tidak mampu untuk kita fahami?.

Jika kamu berada di zaman Nabi Allah Musa (a.s), apakah kamu akan berada di kalangan penyembah anak lembu (Al-Ijil) kerana Nabi Musa (a.s) berjanji untuk pergi selama 30 hari namun apa yang berlaku adalah 40 hari?. Atau kamu tetap yakin dengan Kerasulan Musa (a.s) dan beliau (a.s) adalah Al-Hujjah, tidak kira sebarang Shubhah (keraguan) yang terjadi?!.

Jika kamu berada di zaman Rasulullah Muhammad SAW, apakah kamu akan beriman dengan Peristiwa Isra’ dan Mikraj  yang berlaku kepada Nabi Muhammad SAW, walaupun Baginda SAW tidak memberikan sebarang bukti bahawa Baginda SAW dibawa dari Masjid Al-Haram ke Masjid Al-Aqsa dan kemudiannya di angkat ke langit?! .

Soalan Terakhir:

Jika kamu berada di zaman Nabi Muhammad SAW dan kamu solat bersama Baginda SAW SELAMA LEBIH DARI 10 TAHUN dengan menghadapkan wajah kamu ke Baitul Maqaddis…kemudian pada satu hari kamu bangun dari tidur dan mendapati bahawa Rasulullah SAW berkata bahawa Qiblat telah bertukar kepada Kaabah dan bukan lagi Baitul Maqaddis…

Adakah kamu akan menjadi salah seorang yang menerima dan taat kepada arahan Nabi SAW?.

Atau kamu akan menjadi salah seorang yang ragu-ragu dengan Kerasulan Nabi Muhammad SAW dan berkata jika benar Baginda SAW seorang Nabi, sudah pastilah Baginda SAW akan tahu arah Qiblat sebenar bermula dari awal lagi!.

Jika kamu mengatakan bahawa kamu akan berada di kalangan yang segera taat kepada Nabi SAW, maka apakah sebabnya yang membuatkan kamu menerima dan taat?.

Bukankah sebab yang membuat kamu taat adalah dalil dan telah terbukti bahawa Nabi Muhammad SAW adalah seorang Rasul; dan Baginda SAW adalah Hujjah ke atas kamu dari Allah SWT?.

Begitulah juga yang berlaku di dalam urusan Imam Ahmad Al-Hassan (a.s) dan ‘pintu’nya atau khalifahnya, Aba Al-Sadiq Abdullah Hashem (a.s).

Jika telah cukup dalil dan terbukti kepada kamu bahawa Imam Ahmad Al-Hassan (a.s) adalah benar-benar seorang Imam dan beliau adalah Al-Hujjah, yang mana ketaatan kepadanya adalah diwajibkan; dan bahawa beliau (a.s) adalah ketua kepada Panji Hitam dari Timur yang dirahmati, maka apa sahaja kata-kata beliau (a.s) adalah nash kepada kamu tanpa meminta sebarang bukti..

Thursday, 24 August 2017

Imam Ahmad Al-Hassan (a.s) berkata di dalam Khutbah kepada pelajar Hauzah berkenaan matlamat Imam Al-Hussein (a.s) adalah demi kebenaran





Aku menasihati kalian dan memberi peringatan kepada kalian dan membuka lembaran Al-Hussein (a.s) sebagai pintu kepada nasihat, mungkin dikalangan kalian ada yang waras; dan akan kembali kepada akal sehatnya; dan memyelamatkan dirinya dari keburukan di dalam jurang neraka.


Al-Hussein (a.s) adalah korban demi singgahsana Allah SWT dan agama Ilahi tidak akan mempunyai jalan terang; dan tidak akan melahirkan Kerajaan Keadilan Ilahi di akhir zaman seandainya bukan kerana darah Al-Hussein (a.s). Imam Al-Hussein (a.s) menunjukkan kepada kita bahawa agama Ilahi tidak dapat di tegakkan/diluruskan kecuali dengan darah sucinya.


Maka jika tidak kerana darah Al-Hussein (a.s) ditumpahkan di Padang Karbala, segala usaha para Nabi dan para Rasul akan menjadi sia-sia dan (juga) usaha Nabi Muhammad SAW; dan Ali (a.s); dan Fatimah (a.s); dan Al-Hassan (a.s). Dan para Imam dari keturunan Al-Hussein (a.s) tidak akan mampu untuk menegakkan peraturan agama Ilahi, ketaatan Ilahi dan ketuanan Allah SWT.


Dan barangsiapa yang mencuba menjadikan Al-Hussein (a.s) hanya sekadar seorang Imam yang terbunuh dengan tujuan untuk ditangisi oleh manusia, maka dia adalah bersama (bersekongkol) di dalam penumpahan darah Al-Hussein (a.s) dan dia adalah dari kalangan mereka yang cuba membunuh Al-Hussein (a.s)  di zaman ini…


Di Karbala, Al-Hussein (a.s) berhadapan dengan Syaitan (semoga Allah melaknatnya) dan segala simbol kejahatannya.


Al-Hussein (a.s) berhadapan dengan penguasa yang mendominasi Umat Islam dan melanggar ketuanan Allah SWT; dan Al-Hussein (a.s) berhadapan dengan ulama-ulama yang tidak beramal (ulama jahat), Shuraih Al-Qathi, Shabth bin Rabie, Shimr bin Thi Al-Jawshan dan orang-orang seperti mereka. Dan mereka adalah mata rantai yang paling merbahaya di dalam rantaian konfrontasi, kerana mereka secara zalim dan palsu memakai pakaian agama; dan memperdayakan umat yang menyangka bahawa mereka memakai pedang Nabi Muhammad SAW melawan Al-Hussein (a.s); dan mereka mendakwa bahawa mereka mewakili agama Ilahi, dengan berdusta terhadap Allah SWT.


Dan Ahlul Bait (a.s) berkata tentang mereka iaitu bahawa mereka menghunus pedang Nabi SAW dengan tangan kanan mereka dan menggunakannya untuk melawan baginda SAW.


Dan di Karbala, Al-Hussein (a.s) berhadapan dengan dunia ini dan segala hiasannya; dan tiada yang sanggup melepaskannya (dunia); dan tiada yang menyertai kafilah Al-Hussein; dan para Nabi; dan para Rasul; dan kafilah kebenaran; dan cahaya kecuali hanya sedikit yang memenuhi janjinya kepada Allah SWT.


Dan di Karbala, Al-Hussein (a.s) berhadapan melawan “ego(aku)”. Dan pahlawan di dalam konfrontasi ini selepas Al-Hussein (a.s) dan yang terbaik dari kalangan mereka menghadapi huru-hara ini adalah Al-Abbas bin Ali (a.s), yang melempar kantong air dan membacakan ayat Al-Quran, -﴾namun [mereka] mengutamakan (yang lain) lebih dari diri mereka sendiri, walaupun mereka berada didalam kesempitan﴿-

(Surah Al-Hashr, ayat 9)


Apakah dia -mengutamakan yang lain dari diri mereka sendiri- yang dinyatakan itu?!!


Dan apakah ia -mengutamakan- atau perkara yang kata-kata tidak dapat mengambarkannya?


Dan di Karbala, Al-Hussein (a.s) berhadapan dengan Iblis (semoga laknat Allah ke atasnya), musuh berbuyutan kepada anak Adam, yang berjanji untuk menyesatkan mereka dari jalan lurus dan melemparkan mereka ke jurang api neraka. Dan Al-Hussein (a.s) dan para sahabatnya (a.s) beroleh kejayaan di dalam konfrontasi ini.


Manakala bagi pemerintah yang menindas, Al-Hussein (a.s) membunuh mereka dan memperjelaskan ketidaksahan ketuanan manusia di dalam segala bentuknya, sama ada dengan syura dikalangan mereka (pengundian) ataupun dengan pelantikkan oleh manusia. Dan Al-Hussein (a.s) memperjelaskan kepada kita bahawa ketuanan hanya milik Allah SWT kerana Dia ialah Pemilik kekuasaan/kerajaan, maka Dia boleh melantik dan manusia wajib menerima perlantikkan-Nya. Dan barangsiapa yang menolak lantikan-Nya maka dia terkeluar dari menyembah-Nya sepertimana yang berlaku kepada Iblis (semoga laknat Allah ke atasnya), apabila ia menolak perlantikkan Adam (a.s) sebagai khalifah Allah di bumi-Nya dan menolak untuk mematuhinya; dan tunduk kepadanya (Adam (a.s)). Maka jangan biarkan Iblis menarik kalian ke dalam seruannya dan jangan dijangkiti dengan wabaknya.


Allah SWT berfirman: -﴾”Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kuasa pemerintahan!. Engkaulah yang memberi kuasa pemerintahan kepada sesiapa yang Engkau kehendaki dan Engkaulah yang mencabut kuasa pemerintahan dari sesiapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah juga yang memuliakan sesiapa yang Engkau kehendaki dan Engkaulah yang menghina sesiapa yang Engkau kehendaki. Di dalam kekuasaan Engkaulah sahaja adanya segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”﴿-

(Surah Ali-Imran, ayat 26)


Manakala bagi ulama-ulama tidak beramal, Al-Hussein (a.s) telah mendedahkan (keburukan) mereka dan menanggalkan topeng kesolehan palsu dari wajah kotor; dan gelap mereka; dan pendirian Al-Hussein (a.s) di Karbala kekal menjadi neraca keadilan, kebenaran; dan mentauhidkan Allah SWT, menjadi panduan; dan ikutan bagi sesiapa yang ingin mencontohinya di sepanjang zaman, sebagai cerminan wajah buruk ulama-ulama tidak beramal yang menyesatkan manusia dengan berselindung disebalik topeng kesolehan palsu.


Dan manakala bagi dunia ini, Al-Hussein (a.s) dan para sahabatnya melepaskannya; dan berjalan dengan kafilah kebenaran menuju cahaya Ilahi; dan ini merupakan neraca kedua yang di tegakkan oleh Al-Hussein (a.s) dengan darah sucinya, dengan tindakannya; dan bukannya hanya dengan kata-kata. Jadi beliau (a.s) menunjukkan kepada kita, dengan tindakannya, bahawa dunia ini dan akhirat adalah dua ‘musuh’ yang sekali-kali tidak akan berkumpul bersama di dalam hati seseorang. Jadi, jika salah satu darinya masuk ke dalam hati seseorang itu, maka yang satu lagi akan berlalu pergi darinya. Dan jika seseorang itu berjalan menuju ke salah satu darinya, maka (pada masa yang sama) ia berjalan meninggalkan yang satu lagi.


Maka barangsiapa yang inginkan Allah SWT dan hari akhirat tidak mempunyai pilihan selain dengan ‘melepaskan’ dunia ini.

Kuliah Dr Ali Al-Ghurayfi di dalam ‘Paltalk’: “Minda dan Kepatuhan”





​Apa yang Isa (a.s) katakan?


Beliau (a.s) berkata:

“Tidak ada (seorangpun) yang masuk ke dalam Kerajaan Tuhan kecuali seorang yang seperti kanak-kanak”.


Semoga rahmat Allah dilimpahkan ke atas orang yang menarik perhatianku kepada perkara ini.


“Kecuali seorang yang seperti kanak-kanak”

Apakah maksud “kanak-kanak” ?


Kanak-kanak adalah seorang yang mudah menerima sesuatu.

Jika kamu mengatakan kepadanya bahawa api akan membakar, dia akan menyentuhnya.

Jika dia membenci (sesuatu), dia akan memaafkannya dengan cepat, dan jika dia menyukai sesuatu, dia akan menyukainya dengan cepat.


Dan beliau (a.s) berkata: “Tidak ada (seorang pun) yang masuk ke dalam Kerajaan Tuhan”, tidak ada seorang pun yang masuk ke dalam Seruan Dakwah ini, dan kekal setia di dalamnya, kecuali seorang yang seperti kanak-kanak.


Barangsiapa yang ingin meneruskan, bersama dengan Utusan Allah, bersama Wali Allah yang agung, haruslah menghapuskan keseluruhan mindanya (yang ada sebelumnya) berkaitan apa yang datang kepadanya dari orang ini (Imam (a.s)).


Dia harus membuang seluruh sifatnya (karakternya), mengosongkan cawannya dan memulakan yang baru, seumpama kanak-kanak yang merangkak di tanah (bumi).

Thursday, 6 July 2017

Dari 'Facebook' Norhan Alquesh







Sepasang suami-isteri yang baru berkahwin di dalam perjalanan pulang ke rumah mereka dan menyeberangi danau dengan menaiki sebuah perahu, tiba-tiba ribut besar mula terjadi. Lelaki itu seorang yang pahlawan, tetapi isterinya menjadi amat ketakutan.

Perahu yang mereka naiki begitu kecil sedangkan ribut itu amat kuat dan kemungkinan mereka akan karam adalah besar. Akan tetapi lelaki itu hanya duduk diam, tenang; dan tidak berkata sepatah kata pun, seakan-akan tidak ada apa pun yang berlaku. 

Isterinya gementar dan berkata, "Tidakkah kamu merasa takut?. Ini mungkin menjadi saat terakhir di dalam hidup kita!. Nampaknya kita tidak akan sempat sampai ke tebing sebelah sana. Hanya keajaiban dapat menyelamatkan kita; jika tidak maka kematian adalah pasti. Tidakkah kamu merasa takut?".

Lelaki itu hanya tertawa dan mengeluarkan pedang dari sarungnya. Isterinya menjadi lebih bingung, apa yang ia lakukan?. Kemudian lelaki itu mengacukan pedangnya hampir dengan leher isterinya, begitu hampir sehingga hanya ada ruang kecil di antara hujung pedang dan leher isterinya. 

Lelaki itu berkata: "Adakah kamu merasa takut?".

Isterinya mula tertawa dan berkata: "Kenapa aku harus merasa takut?. Sekiranya pedang itu berada di tangan kamu, mengapa aku harus merasa takut?. Aku tahu kamu mencintaiku".

Lelaki itu kembali menyarungkan pedangnya dan berkata: "Itulah jawapanku, aku tahu Tuhan mengasihiku dan ribut itu berada ditangan-Nya, maka apa pun yang terjadi adalah yang terbaik. Jika kita selamat, itu adalah baik; jika tidak, juga adalah baik, kerana segala-galanya berada di tangan-Nya dan Dia tidak sekali-kali melakukan kesilapan/kesalahan".

-------oo0oo--------

Sunday, 2 July 2017

Satu ungkapan Imam Ahmad Al-Hassan (a.s)





Tidaklah menjadi satu keaiban bagi seseorang yang melakukan suatu kesalahan yang kemudiannya menyedari bahawa dia telah melakukan kesilapan.
Apa yang lebih mengaibkan adalah seseorang itu mengetahui bahawa dia telah tersilap namun tetap kekal berpegang teguh pada kesilapannya.
Satu ungkapan oleh Pemimpin Suci, Imam Ahmad Al-Hassan (a.s)

Satu nasihat dari Imam Ahmad Al-Hassan (a.s)





Ahmad Al-Hassan (a.s) tidak mahu di dalam kafilahnya sebarang mukmin yang tidak berbicara dengan saudaranya, barangsiapa yang marah dan tidak berbicara dengan saudaranya tidak layak mengatakan bahawa dia adalah salah seorang dari Ansarku; dan aku tidak mahukannya, semua orang seharusnya menyayangi setiap orang; dan setiap orang patut melindungi semua orang; dan kesemua orang sepatutnya mendahulukan setiap orang lain dari dirinya sendiri; dan semua orang harus mendahulukan anak orang lain dari anaknya sendiri, “semua orang sebelum diriku dan akulah yang terakhir”, jadikanlah ini motto kalian, “aku seharusnya tidak mengambil sebelum saudaraku mengambil, aku tidak seharusnya makan sebelum saudaraku makan, aku tidak sepatutnya berpakaian sebelum saudaraku berpakaian, aku seharusnya tidur berlapar supaya saudaraku tidur dengan selesa, aku sepatutnya tidur di lantai supaya saudaraku tidur di tilam hangat, aku sepatutnya mati; dan membiarkan saudaraku hidup, jika kalian bukan seperti ini; dan lebih lagi, demi Allah, demi Allah, demi Allah, keadilan tidak akan ditegakkan sehingga ianya ditegakkan di kalangan kalian dahulu; dan keadilan serta kesamaan ini hendaklah hadir dari hati kalian wahai orang-orang yang beriman.
Satu nasihat kepada orang-orang beriman dari guru, Imam Ahmad Al-Hassan (a.s)

Saturday, 1 July 2017

Seruan Imam Ahmad Al-Hassan (a.s)





Abu Abdullah (a.s) berkata: “Rasulullah (SAW) berkata: “Khabar gembira kepada sesiapa sahaja yang menyedari akan Qaim dari Ahlul Bait (a.s) dan mengikuti ajarannya sebelum kebangkitan Qaim, membantu pembantunya; dan meninggalkan musuh-musuhnya; dan mentaati (perintah-perintah) dari para Imam (a.s) yang memimpin sebelum beliau (a.s). Merekalah sahabat-sahabatku dan kecintaanku; dan yang paling terhormat dari kalangan umatku. Rifaa’ berkata: (dan ciptaan Allah yang paling mulia kepadaku)”.(5)
Imam Jaafar Ash-Shadiq (a.s) berkata: “Beliau (Al-Qaim) yang akan khuruj (keluar) tidak akan muncul sehingga telah muncul 12 lelaki (para 12 orang Imam (a.s)) dari Bani Hashim sebelum beliau, kesemua mereka menyeru manusia kepada mereka (a.s)”.(6)
Imam Muhammad Al-Baqir (a.s) berkata: “Zuhurnya (munculnya) Sufyani, Yamani dan Khurasani adalah pada satu tahun, satu bulan, satu hari, seperti susunan butiran manik-manik, sebahagian manusia akan mengikuti sebahagian dari mereka; dan akan berlaku kesengsaraan pada setiap wajah. Jauhilah orang-orang yang menjauhi mereka dan tidak ada panji yang lebih terpimpin dari panji Yamani, panji beliau adalah panji kepimpinan kerana beliau menyeru/memanggil kepada Sahib Al-Zaman (Pemilik Urusan/Al-Mahdi) kalian. Maka apabila Yamani zuhur (muncul), beliau akan mengharamkan ke atas semua manusia dan Muslim sebarang urusniaga senjata; dan jika Yamani zuhur maka bangkitlah kepada beliau. Sesungguhnya, panjinya adalah petunjuk dan tidak dibenarkan seorang Muslim pun untuk berpaling dari beliau. Dan sesiapa yang berpaling maka dia adalah dari penghuni neraka kerana beliau menyeru/memanggil kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus”.(7)
Di sini para Imam (a.s) yang suci menjelaskan kedudukkan dan jawatan Al- Yamani (a.s); dan menjelaskan juga kewajiban untuk menyertai beliau (a.s); dan ingatlah bahawa Allah (SWT) hanya akan mewajibkan kita mentaati Imam yang maksum.
Rujukan:
(5)-Ghaybat Al-Toosi ms.456, Bihar Al-Anwar, Jilid 52, ms.130.
(6)-Kitab Al-Ghibah oleh Sheikh Al-Tusi, ms.437. Al-Ershad oleh Sheikh Al-Mufid, Jilid 2, ms.327. E’lam Alhoda be’lam Alwara, Jilid 2,ms.280.
(7)-Ghaybat Al-Numani, ms.264.

Monday, 12 June 2017

Tentang Abu Dzar al Ghiffari






Imam Ahmad Al-Hassan (a.s) berkata tentang Abu Dzar Al-Ghiffari:
“Wahai Abu Dzar………kamu adalah bersama kami (Ahlulbait (a.s))!”
Di dalam kitab “Al-Ijil”, jilid 1, Imam Ahmad Al-Hassan (a.s) berkata: 
“Dan sekiranya kita bertanya kepada Abu Dzar (semoga Allah merahmatinya), mengapa begitu banyak keperitan dan bencana di dalam kehidupan kamu, Wahai Abu Dzar?! 
Beliau bakal menjawab kepada kita yang bermaksud:
Kesayanganku, Rasulullah (SAWAS) berkata kepadaku: Ucapkan kebenaran, Wahai Abu Dzar, (maka) sesungguhnya aku telah mengucapkan kebenaran dan sesungguhnya kebenaran menjadikan aku tanpa teman [1]. 
Berbahagialah kamu, Wahai Abu Dzar! 
Sesungguhnya orang yang memenjarakan kamu telah dihinakan. Dan mereka tidak membunuhmu, sebaliknya kamulah yang membunuh mereka. Mereka telah mati ketika masih hidup dan kamu sehingga ke hari ini masih hidup di dalam jiwa orang-orang beriman, MALAH KAMU BERSAMA KAMI; dan kamu adalah suri tauladan di dalam hati setiap orang-orang mulia; dan merdeka yang menuntut hak bagi orang-orang miskin; dan lemah, di mana sahaja dia berada. 
Dan kata-kata Ketua Orang-Orang Yang Mentauhidkan Allah selepas Rasulullah (SAWAS); Ali ibn Talib (a.s), adalah memadai buat kamu: 
“Wahai Abu Dzar!. Kamu marah kerana Allah, maka bergantung haraplah kepada Dia, yang kerana-Nya kamu marah. Manusia takut kepada kamu kerana khawatirkan dunia mereka dan kamu takut kepada mereka kerana khawatirkan agamamu. Maka, biarkan ditangan mereka apa yang mereka khawatirkan dan tinggalkan mereka dengan apa yang kamu khawatirkan. Mereka amat menginginkan apa yang kamu halang dari mereka, sadangkan kamu tidak menginginkan apa yang mereka halang kamu darinya. Hari esok kamu akan ketahui siapa yang beroleh kejayaan dan siapa yang irihati. Jika sekiranya langit dan bumi bercantum di hadapan seorang yang beriman dan dia bertaqwa kepada Allah, nescaya Allah akan membukakan jalan keluar baginya!. Wahai Abu Dzar, biarkan tiada yang menemani kamu kecuali kebenaran dan tiada yang membuatmu sunyi kecuali kebatilan. Sekiranya kamu menerima dunia mereka, nescaya mereka mencintai kamu dan sekiranya mengambil bahagian di dalamnya mereka akan memberi kamu suaka”.-(Nahjul Balaghah, Jilid 2 mukasurat 17)
[1] Diriwayatkan, di dalam pesan Rasulullah (SAWAS) kepada Abu Dzar (a.s): “…aku berkata, Wahai Rasulullah, ceritakan kepadaku lagi. Maka Baginda (SAWAS) bersabda: Ucapkanlah kebenaran walaupun pahit. Maka akupun berkata: Wahai Rasulullah, ceritakan kepadaku lagi. Maka Baginda (SAWAS) bersabda: Jangan takut dipersalahkan oleh sesiapapun atas apa yang kamu lakukan kerana Allah”.-(Al-Amali oleh Syeikh Al-Tusi, halaman 539-541)
SALAM KE ATAS DR ALI AL-GHORAIFI

Saturday, 20 May 2017

Dalil Reinkarnasi & Raj'ah





Diriwayatkan dari Salman Al-Farisi (a.s): 
“Suatu ketika, aku datang menemui Rasulullah (SAWAS); apabila baginda (SAWAS) melihatku, baginda (SAWAS) bersabda: “Wahai Salman, Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia melantik 12 wasi bagi setiap nabi”.
“Ya, Wahai Rasulullah (SAWAS), kami telah mendengar (perkara) ini dari kedua-dua Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani”.
Baginda (SAWAS) berkata: “Akan tetapi, Wahai Salman, adakah kamu tahu siapakah wasi-wasiku, yang Allah MahaKuasa pilih sebagai para imam selepasku?”.
Aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”.
Baginda (SAWAS) bersabda: “Ketahuilah Wahai Salman, Allah Yang Mahakuasa menciptaku dari cahaya-Nya yang istimewa; kemudian Dia (SWT) menyeruku dan aku menjawab ‘Labbaik’. Kemudian Dia (SWT) mencipta Ali (a.s) dari cahayaku dan kemudian Dia (SWT) menyerunya; dan dia (Ali) juga berkata ‘Labbaik’. Kemudian Dia (SWT) mencipta Fatimah (s.a) dari cahayaku dan cahaya Ali; dan kemudian Dia (SWT) menyerunya; dan dia (Fatimah) berkata: ‘Labbaik’. Kemudian Allah Yang Maha Kuasa mencipta Hassan dan Hussein dari cahayaku, Ali; dan Fatimah (s.a); dan menyeru mereka berdua; dan mereka juga menjawab ‘Labbaik’. Kemudian Allah Yang Maha Kuasa menamakan kami dengan lima dari nama-nama-Nya. Iaitu Allah adalah Mahmud dan aku ialah Muhammad; Allah adalah Ali dan dia (Ali) ialah Ali. Allah adalah Fatir dan dia (Fatimah) ialah Fatimah, Allah adalah Zul Ahsan; dan dia (Al-Hassan) ialah Hassan; Allah adalah Mohsin; dan dia (Al-Hussein) adalah Hussein.
Kemudian dengan cahaya kami dan cahaya Al-Hussein, Allah Yang Maha Kuasa mencipta 9 (orang) Imam dan menyeru mereka; dan mereka juga menjawab: ‘Labbaik’. Dan ianya adalah sebelum Allah Yang Maha Kuasa mencipta langit-langit atau melebarkan bumi atau mencipta angin, air, manusia; dan malaikat. Kami berada di dalam bentuk cahaya di dalam ilmu-Nya dan kami sentiasa memuji-Nya; dan mematuhi-Nya”
Salman bertanya: “Wahai Rasulullah (SAWAS), Semoga ibubapaku menjadi tebusanmu, apakah ganjaran bagi orang yang memperolehi Makrifat mereka?”.
Rasulullah (SAWAS) menjawab: “Wahai Salman, seseorang yang mendapat makrifat sebenar mereka dan mengikuti mereka; bersahabat dengan sahabat-sahabat mereka; dan memusuhi musuh-musuh mereka; dan berlepas diri dari (musuh) mereka; demi Allah, dia adalah dari kami; dan dia akan mengikuti kami ke mana sahaja kami pergi; dan bersama kami di mana sahaja kami tinggal”.
Salman bertanya: “Wahai Rasulullah (SAWAS), bolehkah seseorang yang beriman dengan mereka tanpa mengetahui nama-nama mereka dan nasab mereka?”
Baginda (SAWAS) menjawab: “Tidak.”
Aku bertanya (lagi): “Maka bagaimanakah aku harus beriman dengan mereka?”.
Baginda (SAWAS) menjawab: “Kamu mengenali mereka sehingga sampai kepada Al-Hussein; maka selepas Al-Hussein ialah ketua ahli ibadat, Ali bin Hussein (a.s), kemudian anaknya, Muhammad bin Ali Baqir, yang menjelaskan tentang sains para Nabi dan para Rasul yang terdahulu; dan terkemudian; selepasnya ialah Jaafar bin Muhammad, lidah Allah yang benar; kemudian Musa bin Jaafar Khadzim; kemudian Ali Ibni Musa Ridha; kemudian Muhammad bin Ali Mokhtar; kemudian Ali bin Muhammad Hadi; kemudian Hassan bin Ali Samit dan wali bagi agama Allah; kemudian Muhammad Ibni Hassan Mahdi, Natiq dan Qaim”.
Salman berkata: “Aku mula bercucuran air mata pada saat ini dan berkata: Wahai Rasulullah (SAWAS), sayang sekali Salman tidak akan dapat menyaksikan mereka di masa kezahiran mereka!”.
Nabi Suci (SAWAS) berkata: “Jangan bimbang, Wahai Salman, kamu dan orang-orang seperti kamu; dan mereka-mereka yang mengabdi kepada mereka, (iaitu) orang yang memperolehi makrifat sebenar (tentang) mereka, AKAN PASTI MENCAPAI ZAMAN MEREKA”
Aku bersyukur kepada Allah sebanyak-banyaknya dan kemudian bertanya: “Wahai Rasulullah (SAWAS), apakah aku akan terus hidup sehingga sampai ke saat itu?”.
Baginda (SAWAS) menjawab: “Wahai Salman, bacalah ayat berikut ini:
“Maka apabila datang saat janji (Kami) yang pertama dari dua (Janji Kami) itu, Kami datangkan kepada kalian hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka marajalela di rumah-rumah dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana. 
Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar”.-(Surah Al-Isra’, 17: 5-6)
Salman berkata: Aku mencucurkan lebih banyak air mata kerana kerinduan yang amat sangat dan kemudian aku berkata: “Wahai Rasulullah (SAWAS), adakah ini janji kamu?”.
Baginda (SAWAS) menjawab: “Ya, demi Dia yang mengutuskan Muhammad sebagai seorang Rasul, ini adalah janjiku berkenaan Ali, Fatimah, Al-Hassan dan Al-Hussein; dan 9 Para Imam selepas mereka; sebaliknya semua orang beriman; dan setiap yang menjadi mangsa, MEREKA SEMUA AKAN MENGALAMI RAJA’AH. Kemudian Iblis dan bala tenteranya di tampilkan; dan orang-orang beriman yang sejati serta orang-orang kafir sepenuhnya juga akan di datangkan semula maka pembalasan akan di ambil ke atas mereka; dan Allah Yang Maha Kuasa tidak akan berlaku zalim kepada sesiapapun; dan kami (Ahlulbait) adalah tafsiran ayat berikut ini:
“Dan Kami hendak memberi kurnia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka para Imam; dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), Dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi; dan akan Kami perlihatkan kepada Firaun dan Haman beserta tenteranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu”.-(Surah Al-Qashash 28: 5-6)
Salman berkata: “Selepas itu aku bangkit dari pertemuan dengan Rasulullah (SAWAS) dan tidak lagi bimbang sekiranya maut menjemputku”.-(Bihar Al-Anwar)

Rahmat Ilahiah Allah




Dengan Nama Allah, Yang Maha Pemurah, Lagi Maha Mengasihani (Bismillahirrahmanirrahim)
Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan sekalian Alam, Ya Allah limpahkanlah solawat dan salam ke atas Muhammad dan Keluarga Muhammad para Imam dan para Mahdi, salam sejahtera ke atas mereka semua.
Aku berlindung kepada Allah dari Syaitan yang direjam (A’uzubillahiminassyaitanirrajim)
Aku berlindung kepada Allah dari “Keakuan” (A’uzubillahiminal ana)
Tiada daya dan upaya melainkan Allah, Yang Maha Besar, Yang Maha Berkuasa
Wahai Ahmad, Wahai Abdullah, Wahai Mahdi, dari Kalian Wahai Ahlulbait kebaikan dan bersama Kalian Wahai Ahlulbait kebaikan; dan ke atas Kalian Wahai Ahlulbait kebaikan.
Labbaik Ya Hussein,
Rahmat Ilahiah Allah SWT-Memohon Taubat
Walaupun rahmat Allah SWT menjangkaui pemahaman kita, apa yang kita ketahui adalah Allah SWT mencintai hamba-hambaNya lebih dari kasih-sayang seorang ibu. Kasih-sayang ibu adalah satu bentuk kecintaan yang paling ulung dan suci di dunia ini serta ikatan yang paling indah. Salah satu contohnya adalah seorang ibu tidak sanggup melihat anaknya di dalam kesakitan mahupun membiarkan anaknya kelaparan. Seorang ibu seolah-olah sanggup menderita semua musibah untuk melindungi anaknya dan hanya seorang ibu mengetahui sebesar mana kasih-sayang yang telah Allah SWT letakkan di dalam hatinya untuk anak-anaknya. Kasih-sayang ini seperti gunung, lautan dan tiada siapa pun yang mampu untuk mengira kedalaman kasih-sayang ini. Kasih-sayang ibu tidak bersyarat dan seperti kasih-sayang Tuhan, Allah SWT juga kasih-sayang tidak bersyarat, malah lebih lagi dari kasih-sayang seorang ibu sehingga kepada tahap yang tidak dapat dibayangkan dalamnya Kecintaan Tuhan kepada kita. Sesungguhnya Allah SWT sukacita melihat hambaNya datang kepadaNya untuk mencari rahmat kurniaanNya. Terdapat banyak ayat di dalam Al-Quran mengenai Rahmat Allah SWT dan Allah lebih mengetahui tentang ayat-ayat ini.
Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.-(Surah Al-Zumar 39: 53)
“Khabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahawa Akulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.-(Surah Al-Hijr, 15: 49)
“Mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampunan kepadaNya?. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.-(Surah Al-Maidah, 5:74)
“…Tuhanmu Amat melimpah keampunanNya bagi manusia (yang bertaubat) terhadap kezaliman mereka…”.-(Surah Ar-Rad, 13: 6)
Taubat adalah langkah pertama ke arah Allah SWT, ianya adalah kesedaran, suatu penerimaan terhadap kesalahan kita, inilah yang mendorong hamba ke arah Tuhannya, Allah SWT. Walaupun ianya adalah permulaan perjalanan, ianya adalah jalan tengah dan terakhir kerana hamba Allah SWT yang ikhlas tidak meninggalkan taubat. Taubat yang ikhlas bermaksud seorang hamba harus berpaling ke arah Allah SWT dan berpaling dari dosa yang mana dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja. Untuk menempatkan halangan antara dirinya dengan syaitan (l.a).
Al-Quran…. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka dan jika mereka berpaling, nescaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia; dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung; dan tidak [pula] penolong di muka bumi.- (Surah At-Taubah, 9: 74)
Tidak kiralah sebanyak mana atau sebesar manapun dosa yang ditanggung oleh seorang hamba, dia sepatutnya tidak memperkecilkan Rahmat Allah SWT kerana Rahmat Tuhan menjangkaui segalanya dan bagi sedikitnya sifat Ketuhanan Allah SWT adalah untuk jatuh ke dalam perangkap Iblis (l.a) kerana dia Syaitan (l.a) mahukan manusia untuk memuaskan diri di dalam dosa; dan berpaling dari Rahmat Allah SWT.
Imam Ali (a.s) telah menjelaskan Allah Yang Maha Berkuasa di dalam doa Iftitah dengan mengatakan: “Aku telah menetapkan bahawa Kamu adalah Yang Maha Penyayang di antara penyayang pada ketika keampunan dan rahmat; dan Kamu adalah Penghukum Yang Maha Berat pada ketika hukuman; dan pembalasan”.-(Mafatih Al-Jinan, oleh Abbas Al-Qummi, Doa Iftitah)
Imam Ali (a.s) menekankan di dalam ‘Doa Kumail’ bahawa tiada alasan yang diterima dari dalaman apabila tidak bertaubat dan kembali kepada Allah; dan sesungguhnya Allah telah melengkapkan kuasa-Nya ke atas manusia dengan berkata: “Kamu mempunyai kekuasaan ke atasku di dalam kesemua itu dan aku tidak mempunyai apa-apa alasan sebelum panghakimanMu terhadapku”.-(Mafatih Al-Jinan, Doa Kumail)
Abdul A’la, hamba yang dibebaskan oleh Aalsam, meriwayatkan bahawa dia mendengar Imam Ash-Shodiq (a.s) berkata: “Pada hari Kebangkitan, seorang wanita cantik, yang mana telah diperdayakan oleh kecantikannya, akan dihadapkan untuk dihakimi. Dia akan berkata, “Wahai Tuhanku, Kamu telah menjadikan aku begitu cantik maka aku telah melakukan itu dan ini”. Maka Maryam (a.s), Si Dara Yang Dirahmati akan dibawa ke hadapan. Akan dikatakan (kepada wanita cantik itu): “Adakah kamu lebih cantik dari si dia (Maryam (a.s))?. Kami telah menjadikannya begitu cantik namun dia tidak diperdayakan”. Seorang lelaki tampan, yang mana telah diperdayakan oleh ketampanannya, akan dihadapkan. Dia akan berkata, “Wahai Tuhanku, Kamu telah menjadikan aku begitu tampan sehingga aku mendapat itu dan itu dari wanita”. Kemudian Nabi Yusuf (a.s) akan dibawa ke hadapan. Akan dikatakan (kepada lelaki tampan itu), “Adakah kamu lebih tampan dari si dia (Yusuf (a.s))?. Kami telah menjadikannya begitu tampan namun dia tidak diperdayakan”. Kemudian orang yang lara, yang mana telah diperdayakan oleh (hilang keimanan disebabkan) bencana yang menimpanya, akan dibawa ke hadapan. Dia akan berkata, “Wahai Tuhanku, Kamu telah menimpakan aku dengan pelbagai bencana maka aku telah diperdayakan”. Maka Nabi Ayub (a.s) dibawa ke hadapan. Akan dikatakan (kepada lelaki itu), “Adakah bencana kamu lebih teruk dari lelaki ini (Ayub (a.s))?. Dia telah diuji namun dia tidak diperdayakan (tidak kehilangan keimanannya)”.-(Rawdhatul Kafi, halaman 228)
Imam Ash-Shodiq (a.s), di dalam tulisannya yang mengagumkan dikenali sebagai “Surat Taubat”, berbicara mengenai dosa yang perlu ditaubatkan dengan segera sebagai kewajipan moral dan hokum; dosa tersebut jika tidak dibaiki dengan taubat yang sebenar, ia tidak akan dihilangkan atau dibuang dari kitab roh; dan jiwa; dan ia akan menyusahkan hidup lelaki tersebut di dunia ini; dan akan menjadikannya tertakluk pada azab Allah di hari kebangkitan. Imam Ash-Shodiq (a.s) berkata, “Ya Allah, Aku merayu padaMu untuk mengampunkan segala dosa yang dikaitkan denganMu dan aku melakukannya kembali. Aku merayu padaMu untuk mengampunkan apa yang telah aku abaikan dari hak dan kewajipanMu Solat, Zakat, Puasa, Jihad, Haji, Haji Kecil, Wuduk; dan Ghusl yang sempurna, solat di malam hari, sentiasa membesarkanMu, kaffarah bagi (melanggar) nazar, kembali kepada keingkaran; dan setiap kewajipan yang aku abaikan. Aku berdoa padaMu supaya mengampunkannya dariku dan kesemua yang telah aku lakukan dari dosa besar, dosa kecil, keingkaran, amalan jahat; dan kesengajaan nafsu atau melalui kesilapan, terbuka atau tertutup!. Aku bertaubat daripada itu dan dari menumpahkan darah, mengingkari ibubapa, memutuskan hubungan dengan kerabat, melarikan diri dari jihad, menuduh perempuan yang terpelihara kehormatannya, memakan wang daripada anak-anak yatim secara zalim, melakukan sumpah bohong, menyembunyikan saksi yang benar, melakukan perjanjian dengan harga yang sedikit, riba, harta haram, sihir, ramalan, keraguan, syirik, kemunafikan, pencuri, minum arak, memberikan ukuran; dan timbangan yang sedikit, pertengkaran, melanggar perjanjian, mereka-reka , khianat, mengkhianati keselamatan, sumpah palsu, menikam belakang, menyebar khabar angin, memfitnah, mencela, memburuk-burukkan, menyusahkan jiran, menghina satu sama lain dengan gelaran yang buruk, memasuki rumah tanpa kebenaran, bangga diri, sombong, kedegilan, kegembiraan yang meluap-luap, ketidakadilan di dalam penghakiman, penindasan apabila marah, fanatik, menyokong orang yang zalim, membantu orang lain di dalam berbuat dosa; dan penindasan, (kekurangan di dalam kekeluargaan dan harta benda; dan anak pinak), syak wasangka, mengikut hawa nafsu, menyuruh yang salah; dan mencegah dari yang benar, rasuah, menafikan kebenaran, memuji-muji pemimpin, penipuan, kedekut, bercakap tentang apa yang tidak diketahui, makan daging binatang yang mati, minum darah, makan daging babi; dan apa-apa daging yang mana telah didoakan selain dariMu, iri hati, pencerobohan, menjemput kepada perbuatan yang songsang, menginginkan apa yang telah Kau berikan kepada yang lain, menipu diri sendiri, menagih apabila memberi, berniat membuat kesalahan, membahayakan anak-anak yatim, memaki pengemis, melanggar sumpah, menganiaya orang disebabkan kekayaan, tubuh; dan kehormatannya, apa yang aku lihat, apa yang aku dengar, apa yang aku ucapkan, apa yang aku telah tanganku hulurkan, apa yang telah kakiku gerakkan, apa yang telah disentuh kulitku, apa yang telah aku ucapkan kepada diri sendiri yang bersifat ingkar kepadaMu serta segala sumpah palsu”.-(Biharul Anwar, Jilid 97, halaman 328)
Di dalam amalan ini, Imam Ash-Shodiq (a.s) telah memperincikan setiap dosa yang harus ditaubatkan oleh seseorang itu dan kembali kepada Allah dengan ikhlas.
Ikhlas Di dalam Taubat
Taubat tidak dikira apabila seseorang itu hanya mengucapkan dengan lidahnya “astaghfirullah-Aku memohon keampunan dari Allah” dengan sedikit kekesalan di dalam dirinya atau dia menumpahkan sedikit air mata secara rahsia atau terbuka kerana terdapat ramai orang yang bertaubat dengan cara ini namun selepas beberapa ketika mereka kembali melakukan dosa yang sama dan keingkaran yang mereka telah lakukan dahulu. Kembali melakukan dosa adalah bukti yang amat jelas menunjukkan bahawa taubat yang sebenar tidak dicapai dan bahawa cahaya pengembalian sebenar kepada Allah masih tidak menembusi jiwa seseorang itu. Taubat sebenar dan menahan diri dari melakukan dosa yang sama berulangkali menunjukkan keikhlasan; dan Allah SWT Maha Mengetahui hati para hambaNya.
Apabila Imam Ali (a.s) mendengar seseorang berkata, “Aku memohon Allah untuk mengampunkan aku”. Beliau (a.s) berkata kepadanya, “Celaka ke atasmu!. Tahukah kamu maksud “memohon keampunan”. “Memohon Keampunan” adalah di dalam maqam “illiyyeen”. “Illiyyeen” adalah maqam tertinggi para Nabi, Wali, Syuhada dan orang-orang beriman tinggi di sisi Allah (di syurga).
Ia mengandungi enam maksud; pertama adalah merasa penyesalan yang mendalam pada apa yang telah dilakukan sebelumnya; kedua adalah berazam untuk tidak melakukannya lagi selama-lamanya; ketiga adalah untuk memberikan manusia hak mereka sehingga kembali menghadap Allah tanpa dipertanggungjawapkan; keempat adalah untuk melakukan setiap kewajipan yang telah ditinggalkan; kelima adalah untuk mencairkan kembali daging yang telah tumbuh hasil dari sumber yang haram dengan menyesali dan berdukacita sehingga kulit melekat pada tulang; dan kemudian daging baru tumbuh; dan yang keenam adalah untuk menjadikan tubuh merasai kesakitan akibat ketaatan sepertimana ia telah merasai kemanisan keingkaran; dan kemudian barulah layak untuk berkata “astaghfirullah-Aku memohon keampunan dari Allah”.-(Nahjul Balaghah, seruan 309)
Seorang pentaubat harus menyedari maksud taubat dan menetapkan dengan yakin untuk meninggalkan dosa; dan tidak akan melakukannya lagi selama-lamanya. Dia tidak seharusnya memikirkan tentang taubat sementara dia masih melakukan dosa. Penangguhan dan berharap untuk bertaubat di masa depan adalah tidak dapat dinafikan lagi merupakan rancangan Syaitan. Telah diriwayatkan bahawa Imam Ar-Ridha (a.s) pernah berkata, “Mereka yang memohon keampunan dengan lidahnya dan tidak bertaubat dengan hatinya, telah mencemuh dirinya sendiri”.
Hakikatnya, adalah tidak masuk akal dan patut disesalkan apabila seseorang itu mencampakkan dirinya ke dalam penyakit kemudian berharap dia akan menemui penawarnya!. Betapa ramainya manusia yang telah tewas disebabkan oleh harapan palsu taubat ini dan betapa banyaknya kesalahan yang telah dilakukannya sementara dia berbicara pada dirinya bahawa pintu taubat masih terbuka; dan dia boleh melakukan dosa sekarang; dan kemudian dia bertaubat!. Jika seseorang itu, berniat untuk bertaubat, berazam bersungguh-sungguh dan menyedari syarat-syarat taubat di dalam dirinya, ianya akan membawa kepada penyucian di dalam dirinya; dan membersihkan jiwa; dan hatinya; dan kemudian keladak dosa akan dihapuskan dari organnya secara batiniah serta lahiriah. Taubat tidak sepatutnya menjadi tabiat disebabkan oleh dosa, bahkan hakikatnya, kegelapan setelah taubat adalah cahaya dan kekerapan pertukaran di antara cahaya; dan kegelapan akan mengelirukan jiwa. Oleh itu, jika kita bertaubat terhadap sesuatu dosa dan kemudian kita melakukannya lagi, kita masih lagi di dalam kitaran dosa; dan taubat kita hanyalah perasaan yang sementara. Jiwa manusia adalah seperti neraka. Ia tidak akan pernah puas. Dosa dan keingkaran tidak akan mengenyangkannya. Ia akan sentiasa rakus terhadap perkara-perkara yang dilarang. Perkara-perkara inilah yang menyebabkan manusia sentiasa melakukan dosa dan tidak mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh kerana itu, pintu kepada ketuhar ini harus ditutup dengan taubat dan haiwan buas ini harus ditambat dengan rantai melalui penyerahan sebenar kepada Allah. Taubat adalah pembalikan dari keadaan semasa dan pergerakan keimanan; dan ketakwaan di dalam kesedaran serta perubahan dalaman jiwa dan roh. Maka perhubungan seseorang itu dengan dosa dan motif mereka menjadi lemah; dan dia diikat dengan ikatan yang kuat bersama Kebenaran; dan maksud kesucian; dan kecerahan. Taubat pada permulaannya adalah kehidupan baharu; suatu kehidupan yang suci dan syurgawi. Di dalam kehidupan ini manusia menyerahkan hatinya kepada Allah SWT dan jiwanya kepada amalan baik. Dia menyucikan dalamannya dan luarannyadari kesan-kesan dosa. Taubat pada asasnya adalah kepupusan pada api keinginan. Ia membawa manusia kepada jalan Kebenaran, Kepatuhan dan Penyerahan kepada Yang Maha Pencipta. Taubat adalah pengakhiran kepada kawalan syaitan ke atas dalaman manusia. Ia menyediakan asas psikologi yang teguh yang menjadikan kebenaran mengawal secara keseluruhan dalaman seseorang manusia dan mencegahnya dari tergelincir kepada tekanan keinginan; dan kenikmatan harta benda yang sementara.
Taubat adalah berbeza bagi jenis dosa yang berbeza dan setiap dosa mempunyai taubat yang tertentu. Jika taubat tidak tercapai, seseorang itu akan kekal tercemar bersama kesan-kesan dosa dan rohnya akan kekal gelap sehingga hari kebangkitan; dan dia ini akan menderita azab yang teruk akibat dari dosa tersebut. Kesemua dosa dapat diklasifikasikan kepada 3 bahagian:
▪Dosa yang dilakukan seseorang apabila mengabaikan kewajipannya seperti solat, puasa, khumus, jihad dan yang sewaktu dengannya.
▪Dosa yang dilakukan apabila seseorang itu mengingkari perintah Allah dengan melakukan perbuatan terlarang seperti meminum arak, memandang dengan pandangan yang dilarang terhadap wanita bukan muhram, penzinaan, berjudi, meliwat, masturbasi, mendengar bunyi-bunyian yang dilarang dan yang sewaktu dengannya yang mana tidak bertepatan dengan hak manusia yang lain.
▪Dosa yang selain dari mengarah kepada keingkaran kepada Allah, menyalahi hak manusia lain seperti membunuh, mencuri, riba, memeras, memeras harta anak yatim, merasuah, pencerobohan terhadap jiwa manusia lain dan harta-bendanya.
Mentaubati dosa bagi kumpulan pertama dapat dicapai dengan meninggalkan dosa-dosa ini yang mana seseorang itu harus mengerjakan kewajipan-kewajipan yang ditinggalkannya seperti solat, puasa, haji dan membayar khumus; dan serta zakat bagi setiap tahun yang telah ditinggalkannya. Mentaubati dosa bagi kumpulan kedua dapat dicapai dengan memohon keampunan Allah, menyesali dan berazam untuk meninggalkan dosa-dosa ini -mengakibatkan keadaan seseorang itu berubah sama sekali dan menahan anggota-anggota tubuhnya dari melakukan amalan buruk selama-lamanya. Mentaubati dosa bagi kumpulan ketiga dicapai dengan mengembalikan hak manusia; seorang pembunuh harus meletakkan dirinya di bawah pilihan penjaga kepada orang yang dibunuhnya sama ada mahu menghukumnya atau mengarahkannya membayar wang darah atau untuk mengampunkannya. Pemeras harus mengembalikan kesemua wang yang diperasnya. Hak anak-anak yatim harus dikembalikan kepada mereka. Rasuah harus dikembalikan kepada pemiliknya. Penindas harus membayar wang darah dan harus membayar ganti rugi bagi kerosakan; dan kehilangan pada harta benda manusia; dan seterusnya.
Pentaubat harus memohon kepada Allah SWT untuk menganugerahinya kejayaan untuk kekal di dalam taubatnya, untuk kekal menjauhi dosa-dosanya dan melawan Syaitan; dan kejahatan; dan kemudian dia akan dibebaskan dari kawalan Syaitan yang dilaknat sedikit demi sedikit; dan akhirnya dia dapat membawa dirinya keluar dari kehidupannya; dan meninggalkan aturannya terhadap jiwa; dan jasadnya. Dengan melakukan ini, seseorang itu menyediakan dirinya kepada asas yang kukuh untuk bertaubat serta kembali kepada Allah dengan hatinya yang mendalam dan kemudian perjanjian bercahaya ini tidak akan dipatahkan oleh kegelapan dosa; dan keingkaran selepas itu.
Salah seorang dari Imam Maksum (a.s) berkata, “Allah SWT telah memberikan pentaubat 3 kelebihan. Jika Dia SWT memberikan salah seorang dari mereka kepada penghuni syurga dan bumi, mereka akan diselamatkan olehnya”.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah mencintai mereka yang bertaubat (kepadaNya) dan Dia mencintai mereka yang menyucikan diri mereka sendiri”.- (Surah Al-Baqarah, 2: 222)
Dia, yang dicintai oleh Allah, tidak akan diazab.
Allah juga telah berfirman:
“(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya; dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat; dan mengikuti jalan Engkau; dan peliharalah mereka dari seksaan neraka yang menyala-nyala. Ya Tuhan kami dan masukkanlah mereka ke dalam syurga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka; dan orang-orang yang soleh di antara bapa-bapa mereka; dan isteri-isteri mereka; dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar”.-(Al-Quran, Surah Al-Ghafir, 40: 7-9)
Allah juga telah berfirman:
“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar; dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, nescaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat; dan dia akan kekal di dalam azab itu, di dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman; dan mengerjakan amal soleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”.-(Al-Quran, Surah Al-Furqan, 25: 68-70)
Riwayat Ahlulbait berkenaan dengan Taubat
Imam Abu Jaafar Muhammad Al-Baqir (a.s) berkata telah berkata, “Adam a.s telah berkata, “Wahai Tuhanku, Kamu telah memperkasakan Syaitan ke atasku dan menjadikan dia sebagai aliran darah di dalam tubuhku. Wahai Tuhanku, jadikanlah sesuatu ke atasku!”. Allah berkata, “Wahai Adam, Aku telah kurniakan kepadamu bahawa barangsiapa dari keturunanmu berniat untuk melakukan sesuatu kejahatan, ianya tidak akan dicatat namun jika dia melakukannya, ianya akan dicatat sebagai satu dosa dan barangsiapa yang berniat untuk melakukan kebaikan tanpa melakukannya, ianya akan dicatat kepadanya sebagai satu kebaikan; dan jika dia melakukannya, ianya akan dicatat kepadanya sebagai sepuluh kebaikan, dosanya akan diampunkan”. Adam berkata, “Wahai Tuhanku, kurniakanlah lagi kepadaku!”. Allah berkata, “Aku telah mengurniakan kepada keturunanmu taubat sehingga sampai saat kematian”. Adam berkata, “Wahai Tuhanku, ini memadai bagiku”.-(Al-Kafi, Jilid 2 halaman 440; Biharul Anwar, Jilid 6, halaman 18)
Imam Ash-Shodiq (a.s) meriwayatkan bahawa Rasulullah SAWAS telah berkata, “Barangsiapa yang bertaubat setahun sebelum masa kematiannya Allah SWT menerima taubatnya”. Kemudian beliau (a.s) berkata, “Setahun adalah terlalu lama. Barangsiapa yang bertaubat sebulan sebelum kematiannya Allah menerima taubatnya”. Kemudian beliau (a.s) berkata, “Sebulan adalah terlalu lama. Barangsiapa yang bertaubat seminggu sebelum kematiannya Allah SWT menerima taubatnya”. Kemudian beliau (a.s) berkata, “Seminggu adalah terlalu lama. Barangsiapa yang bertaubat sehari sebelum kematiannya Allah menerima taubatnya”. Kemudian beliau (a.s) berkata, “Sehari adalah terlalu lama. Barangsiapa yang bertaubat sebelum (saat) dia melihat malaikat maut Allah menerima taubatnya”.-(Al-Kafi, Jilid 2, halaman 440)
Rasulullah SAWAS bersabda, “Allah menerima taubat hamba-hambaNya walaupun sebelum nafasnya yang terakhir. Kembalilah kepada Tuhanmu sebelum kamu meninggal dunia dan bersegeralah di dalam membuat kebaikan sebelum kamu disibukkan (dengan perkara lain); dan peliharalah hubungan di antara kamu dengan Tuhanmu dengan menyebutNya dengan sebanyak-banyaknya”.-(Biharul Anwar, Jilid 6, halaman 19)
Telah diriwayatkan bahawa Imam Ali (a.s) telah berkata, “Tidak ada pemberi syafaat yang lebih baik melainkan taubat”.-(Ibid)
Dan Rasulullah SAWAS telah bersabda, “Taubat membatalkan segala sesuatu (yang dilakukan) sebelumnya”.-(Mizan Al-Hikmah, Jilid 1, halaman 338)
Imam Ali (a.s) telah berkata, “Taubat membawa turun rahmat”.-(Ibid)
Beliau (a.s) juga berkata, “Kembalilah kepada Allah dan masuklah ke dalam kasih-sayangNya kerana Allah mencintai orang yang sentiasa kembali (kepadaNya); dan Dia mencintai mereka yang menyucikan dirinya. Orang-orang yang beriman sentiasa kembali kepada Allah”.-(Biharul Anwar, Jilid 6 halaman 21)
Imam Ridha (a.s) telah meriwayatkan daripada bapanya bahawa Rasulullah SAWAS telah bersabda, “Orang beriman di sisi Allah adalah umpama malaikat Muqarrab. Orang beriman di sisi Allah adalah lebih besar dari ini dan tiada yang lebih dicintai oleh Allah melainkan laki-laki beriman yang bertaubat dan wanita-wanita beriman yang bertaubat”.-(Uyoon Akbar Ar-Redha, halaman 198)
Imam Ridha (a.s) juga meriwayatkan dari bapanya bahawa Rasulullah SAWAS bersabda, “Seorang yang bertaubat di atas dosa adalah umpama seseorang yang tidak melakukan perkara itu”.-(Biharul Anwar, Jilid 6, halaman 21)
Telah diriwayatkan bahawa Imam Ash-Shodiq (a.s) telah berkata, “Taubat yang ikhlas adalah seseorang yang bertaubat di atas dosanya dan berazam tidak akan kembali melakukannya lagi”.-(Biharul Anwar, Jilid 6, halaman 22)
Rasulullah SAWAS bersabda, “Allah SWT lebih gembira dengan hambaNya yang bertaubat berbanding lelaki mandul ketika mendapat anak, atau orang yang sesat ketika menemukan jalan atau juga orang dahaga yang sampai kepada mata air minuman”.-(Mizan Al-Hikam, Jilid 1 halaman 338)
Beliau SAWAS juga berkata, “Seorang yang bertaubat, jika sekiranya kesan taubat tersebut tidak muncul padanya, bukan benar-benar bertaubat. Dia harus memenuhi orang yang berkehendak padanya, menggantikan solat-solatnya yang sia-sia, merendah diri di kalangan manusia, menjauhi dirinya dari nafsu serakah dan menguruskan lehernya dengan berpuasa pada siang hari”.-(Jami’ul Akhbar, halaman 226)
Amirul Mukminin (a.s) berkata, “Taubat adalah menyesali dengan hati, memohon pengampunan Allah SWT dengan lidah, meninggalkan dosa dengan anggota dan bertekad tidak kembali semula kepada dosa”.-(Biharul Anwar, Jilid 78, halaman 81)
Beliau (a.s) juga berkata, “Barangsiapa kembali kepada Allah, Allah kembali kepadanya dan anggota-anggotanya diarahkan untuk melindungi dosa-dosanya, tanah untuk menutup dosa-dosanya; dan para malaikat dijadikan lupa apa yang telah mereka tulis ke atasnya”.-(Thawabul A’mal, Jilid 1, halaman 214)
Imam Ash-Shodiq (a.s) berkata, “Allah SWT telah mendedahkan kepada NabiNya Daud (a.s): Jika hambaKu yang beriman melakukan sesuatu dosa dan kemudian kembali; dan bertaubat di atas dosa tersebut; dan menjadi malu kepadaKu ketika menyebut namaKu, Aku akan mengampunkannya; dan menjadikan para malaikat lupa (apa yang ditulis ke atasnya); dan Aku tukarkan kejahatannya kepada amal kebajikan; dan Akulah Yang Maha Mengasihani dari para pengasih”.- (Ibid., halaman 125)
Di dalam suatu majlis yang penting Rasulullah SAWAS telah berkata, “Tahukah kalian siapa orang yang bertaubat?”. Para sahabatnya berkata, “Demi Allah, tidak, kami tidak tahu”. Beliau berkata, “Jika seseorang bertaubat tanpa memenuhi orang yang berkehendak padanya, dia bukanlah orang yang bertaubat. Barangsiapa yang bertaubat tanpa meningkatkan amal ibadatnya bukanlah orang yang bertaubat. Barangsiapa yang bertaubat tanpa menukarkan pakaiannya (tabiat) bukanlah orang yang bertaubat. Barangsiapa yang bertaubat tanpa menukarkan pertemuannya bukanlah orang yang bertaubat. Barangsiapa yang bertaubat tanpa menukarkan tempat tidur dan alas kepalanya bukanlah orang yang bertaubat. Barangsiapa yang bertaubat tanpa menukarkan perilaku dan hajatnya bukanlah orang yang bertaubat. Barangsiapa yang bertaubat tanpa melapangkan dadanya dan memberi dengan tangannya yang bermurah hati bukanlah orang yang bertaubat. Barangsiapa yang bertaubat tanpa mengekang kehendaknya dan mengawal lidahnya bukanlah orang yang bertaubat. Barangsiapa yang bertaubat tanpa memberikan kekuatan tambahan kepada jasadnya bukanlah orang yang bertaubat. Jika dia melakukan kesemua perkara ini, dia akan menjadi orang yang bertaubat”.-(Biharul Anwar, Jilid 6, Halaman 35)
Nikmat Memohon Pengampunan Dari Rahmat Ilahi Allah SWT 
Taubat mempunyai kelebihan yang penting di dalam kehidupan dunia dan juga akhirat sepertimana yang dijelaskan di dalam majlis mulia yang diriwayatkan dari Ahlulbait (a.s).
Di dalam Tafsir Majma’ul Bayan, sebuah kisah yang penting dan menarik telah diriwayatkan bahawasanya suatu ketika seorang lelaki mendatangi Imam Al-Hassan (a.s) mengadu tentang kemandulannya. Imam Al-Hassan (a.s) berkata kepadanya, “Mohonlah kepada Allah untuk mengampunimu!”. Datang lelaki yang lain kepadanya mengadu tentang kefakirannya. Imam Al-Hassan (a.s) berkata kepadanya, “Mohonlah kepada Allah untuk mengampunimu!”. Datang lelaki ketiga mengadu kepadanya berkata, “Mohonlah kepada Allah untuk mengurniakan aku seorang anak lelaki!”. Imam Al-Hassan berkata kepadanya, “Mohonlah kepada Allah untuk mengampunimu!”. Orang yang berada di sana berkata kepada Imam Al-Hassan (a.s), “Sebahagian lelaki datang kepadamu mengadu dan memohon untuk perkara yang berlainan namun kamu mengarahkan mereka untuk memohon pengampunan Allah”. Beliau (a.s) berkata, “Aku tidak mengatakannya dari diriku bahkan aku menuruti suruhan Allah apabila merujuk kisah Nabi Nuh (a.s) apabila dia berkata kepada kaumnya, maka aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, nescaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta; dan anak-anakmu; dan mengadakan untukmu kebun-kebun; dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai”.-(Surah Nuh, 71: 10-12)
Mencari nikmat Allah SWT di dalam taubat adalah untuk menahan diri dari melakukan dosa dan pengampunan; dan kemaafan Ilahi, rahmat Ilahi, menjadi selamat dari seksaan hari akhirat, melayakkan untuk memasuki syurga, keselamatan jiwa, kesucian jiwa dan anggota, penjauhan dari perkara keji, penurunan hujan, kelimpahan kekayaan; dan anak-anak, kesuburan tanaman; dan pengairan sungai, hilangnya kemandulan; dan kemiskinan.
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal”.-(Surah Yusuf, 12: 111)
“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, nescaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai”.-(Surah Nuh, 71:10-12)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”.-(Surah At-Tahrim, 66: 8)
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi”.-(Surah Al-Araf, 7: 96)
——————–oo0oo——————–